Skip to content

Blog

Tukang Parkir Ke Amerika

Tekad Meninggalkan Kampung

Selama ini aku bertahan untuk tinggal di kampong karena ada aktivitas mengajar yang bisa meredam keinginanku untuk kuliah. Nah, sekarang aktivitas mengajar sudah berhenti. Kebosanan mulai menghampiriku. Aku sudah nggak betah. Niatpun ku bulatkan untuk mencari hembusan angin cerah dengan mengadu nasib ke kota.

Nasehat Ustadz H. Ramli masing terus ku ingat. Dia pernah berkata dengan memenggal sebuah ayat dari Alqur’an. “Kalau tekadmu sudah bulat, maka bertawakkallah kepada Allah”. Firman Allah ini benar-benar menyentuh dan semakin memantapkan tekatku untuk segera berangkat dari kampung tercintaku demi meraih masa depan yang gemilang.

Seminggu kemudian, aku melangkahkan kaki dengan restu seluruh keluarga. Kota Pekanbaru dengan julukan kota bertuahnya menjadi tujuanku. Februari 2006, adalah hari pertama aku tiba di Pekanbaru. Bermodalkan secuil pendidikan agama yang aku dapat di pesantren, aku ingin mencoba mengadu keberuntungan di sini.

Beberapa menit setelah turun dari Bus Dolok Sordang, aku bingung mau pergi ke mana. Tak satu orang pun yang aku kenal di kota yang begitu besar ini. Memang sih ada lumayan banyak warga dari kampung yang sudah sekian lama tinggal dan bekerja di Pekanbaru.tapi, lagi-lagi, aku tidak kenal dan tidak tahu alamat mereka. Akhirnya aku lebih memilih duduk bersandar di bangku kayu yang disediakan untuk penumpang di loket bus ini.

Sejenak aku menghilangkan capek dan penat setelah seharian berada di dalam bus. Suara azan Ashar terdengar jelas di telingaku. Aku segera bergegas dan mencari dari masjid mana suara itu dikumandangkan. Ternyata setelah berjalan sekitar seratus meter ke arah barat, Masjid Al Hikmah pun aku temukan. Sebuah masjid yang tidak begitu luas. Namun, cukup untuk menampung para Jama’ah yang rumahnya dekat dengan masjid dan para jama’ah yang kebetulan sedang musyafir. Shalat azhar pun aku laksanakan, diimami oleh seorang ustadz yang suaranya lumayan merdu. Jadi teringat ketika masa-masa di pesantren dahulu. Suara ustadz tersebut mengingatkanku akan suara ustadz Amin-seorang yang sangat aku kagumi.

Setelah shalat azhar usai, aku memberanikan diri mengambil mixrofon dan menceritakan ikhwal kedatanganku ke Pekanbaru. Walaupun beberapa warga yang ikut shalat saat itu merasa aneh. Memang sih tidak ada yang menyuruhku mengambil mixrofon dan berbicara. Tapi bagiku, hal itu menjadi sebuah cara untuk bertahan hidup  sebab tak siapapun yang aku kenal.

Assalamu alaikum, bapak/Ibu para jama’ah. Nama saya Sakti. Saya berasal dari Sosa, sebuah kampung terpencil di Kab. Tapanuli Selatan, SUMUT. Saya baru sampai di kota pekanbaru ini. Tujuan saya adalah untuk kuliah tapi saya tidak punya uang. Orang tua saya pun tidak sanggup melanjutkan pendidikanku. Jadi, saya tidak tahu harus ke mana. Untuk itu saya mohon ketulusan hati bapak/ibu untuk mempekerjakan saya sebagai apapun, asalkan itu halal. Supaya saya bisa kuliah kalau uang saya sudah mencukupi. Asalamu alaikum”, kataku.

Mendengar penuturanku itu membuat para jama’ah prihatin dan mengacungkan jempol atas keberanianku. Hingga seorang warga membawaku ke rumahnya dan menjadikanku sebagai anak angkatnya. Beliau adalah Pak Suwito, ketulusannya hatinya itu sangat benar-benar berjasa dalam mengantarkanku seperti saat sekarang ini. Namun, Pak Suwito bukanlah seseorang yang yang memiliki harta yang berlimpah. Beliau adalah seorang pedagang sayur di pasar Kodim dan memiliki kios barang-barang kebutuhan harian di rumahnya. Dia belum dikarunia seorang anak pun oleh Allah. Mungkin itu salah satu hal yang membuat dia tidak terlalu diberatkan dengan kedatanganku. Hatinya yang begitu mulia membuatku nyaman dan betah tinggal bersama mereka. Nah, sebagai seorang anak yang tinggal menumpang. Aku sangat sadar diri. Aku turut membantu Pak Suwito beserta Bu Zainab menjualkan dagangan mereka. Setiap pagi aku ke pasar menjual sayur-sayuran bersama Pak Suwito. Begitu pulang dari pasar, aku juga turut membantu Bu Fatimah menjaga kios jualan di rumah. Keseharianku pun dihabiskan untuk berjualan. Aku tidak pernah merasa lelah membantu mereka. Bagiku mereka berdua sudah aku anggap sebagai pengganti kedua orangtuaku yang sangat aku cintai.

Tanpa terasa 4 bulan sudah berlalu setelah aku tinggal bersama mereka di kota bertuah ini. Waktu pendaftaran mahasiswa baru pun sudah semakin dekat. Tinggal beberapa minggu lagi di SMPTN akan buka sesuai informasi yang aku dapat dari harian pagi Riau Pos. Hal itu pun aku jelaskan kepada Pak Suwito dan Ibu Zainab sepulang dari jualan sayur di pasar Kodim sesaat kami sedang sarapan. Namun begitu hal itu kusampaikan, tak sepatah kata pun direspon oleh kedua pasangan suami isteri yang sangat aku hormati ini. Aku shock…kenapa nggak ada jawaban dari Pak Suwito? Padahal jauh-jauh hari aku juga pernah jelaskan hal yang sama. Aku semakin tidak mengerti kenapa mereka berubah.

Akhirnya, beberapa hari setelah niat untuk kuliah aku ceritakan. Tanpa sengaja aku mendengar percakapan singkat antara Pak Suwito dengan Bu Zainab. Yang inti dari pembicaraan itu adalah Bu Zainab tidak setuju kalau aku kuliah karena dia takut tidak ada yang membantu mereka jualan. Aku sungguh kecewa. Ternyata aku salah menilai mereka selama ini. Mereka hanya memanfaatkan tenagaku. Tidak lebih dari itu…

Setelah mengetahui hal itu. Aku pamit untuk tidak tinggal bersama mereka lagi. Bu Zainab pun marah. Dia bilang aku tidak tahu diri. Tapi, aku tidak perdulikan lagi kata-katanya. Karena tujuanku berkiprah ke Pekanbaru tidak lain untuk kuliah. Masalah baru timbul lagi. Aku tidak tahu harus ke mana lagi. Untungnya, denganberjualan di pasar Kodim selama empat bulan terakhir ini. Aku punya beberapa teman. Aku pun mendatangi mereka dan menceritakan masalah yang sedang aku alami. Syukurnya, dengan senang hati mereka menerimaku dan menawarkan sebuah pekerjaan baru untukku.

Pekerjaan baru tidak lain adalah menjadi tukang parkir. Aku pun mengiyakan. Bagiku apapun akan aku lakukan selagi itu halal. Yang penting aku bisa kuliah. Tanpa menunggu lama, suka duka sebagai tukang parkir pun aku tekuni. Penghasilan yang aku dapatkan tidak lebih dari tigapuluh ribu perharinya. Sedangkan untuk uang makan perhari saja bisa mencapai angka dua puluh ribu rupiah. Angka yang tidak memungkinkan untuk bisa mengantarkanku mengenyam pendidikan kampus yang selama ini aku impikan. Ditambah lagi kerasnya kehidupan pasar harus ku terima dengan lapang dada. Walau aku harus kerap kali bertengkar dengan pengendara sepeda motor atau mobil yang enggan membayar uang parkir.

Berselang satu bulan menjadi seorang tukang parkir. Aku mulai tidak tahan dengan kerasnya kehidupan pasar. Teman-teman pun tidak bias sejalan denganku. Mereka memang besar di pasar. Sudah barang tentu sikap mereka pun cenderung sangat keras. Apalagi, preman-preman pasar sering meminta uang setoran kepada kami. Bahkan uang yang kusimpan dari hasil menjaga parkir selama sebulan lenyap. Hatiku begitu pilu tidak tahu lagi harus berbuat apa lagi.

Ketika Pertolongan Allah Tiba

Disela-sela kekecewaanku aku tidak bisa berpikir jernih. Keesokan harinya, ketika waktu shalat zuhur tiba, aku segera menuju masjid. Aku mulai sadar bahwa segala sesuatu harus dikembalikan kepadaNya. Setibanya di masjid aku duduk di shop paling depan karena jamaah yang datang tidak banyak. Maklumlah, mungkin kebanyakan dari warga sedang bekerja. pengurus masjid yang biasanya mengumandangkan azan juga tidak datang. Maka, salah seorang warga yang dating menyuruhku untuk bertindak sebagai muadzin. Aku kaget. Walaupun aku pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Tapi, hal itu sudah lama tidak ku lakukan. Cuma aku tidak punya pilihan lain. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengumandangkan azan tersebut. Dengan suara lantang azan pun aku kumandangkan. Air mataku pun sesekali jatuh karena teringat terus nasib yang sedang menimpaku. Setalah azan selesai ku kumandangkan. Shalat azar pun berlangsung.

Selesai shalat azar aku masih duduk rapi di shaf tempatku shalat tadi. Seorang laki-laki separuh baya pun menghampiriku dan mengajakku bercerita. Akhirnya aku ceritakan semua kepada bapak tersebut apa yang sedang menimpa diriku. Ternyata tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Allah adalah sebaik-baik penolong. Hal yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Tujuan bapak tersebut menghampiriku tadi adalah memintaku untuk tinggal di sebuah masjid di lingkungan bapak tersebut tinggal. Dia juga bilang, kalau aku bersedia tinggal di sana, maka biaya awal kuliah akan ditanggulangi oleh pengurus masjid. Tanpa berfikir panjang, tawaran itupun segera ku terima. Karena selama ini, yang sangat aku impikan adalah bisa melanjutkan pendidikanku dan mereka mau membantunya.

Aku pun tinggal di masjid Almuttaqin di jalan indra pahlawan Kelurahan Sekip. Di sinilah aku tinggal sampai tiga tahun. Tugas utamaku di masjid adalah mengumandangkan azan dan menjaga kebersihan masjid beserta lingkungannya. Para pengurus masjid sangat dermawan. Tidak jarang mereka membantuku di saat-saat pembayaran uang semester tiba.

Kemudian ketika aku duduk di semester tujuh. Sebuah kesempatan untuk kuliah singkat di Amerika Serikatpun terbuka untuk seluruh mahasiswa jenjang S1 di seluruh Indonesia. Sebagai seorang mahasiswa pendidikan bahasa inggris, aku pun tertantang untuk ikut seleksi. Setelah mengikuti beberapa tahap seleksi. Alhamdulillah, aku terpilih untuk menjadi salah satu penerima beasiswa yang diberangkatkan ke Universitas Arizona, USA tahun 2010. “Ya Allaaah, Seorang tukang parkir dan yang dulunya penjual sayur bisa menginjakkan kakinya di negara Paman Syam yang terkenal dengan kekuasaannya”, syukur ucapku.

WhatsApp chat